Minggu, 29 April 2012

GUS DUR

GUS DUR KH. Abdurrahman Wahid lahir pada tanggal 7 september 1940 di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, di lingkungan pondok pesantren milik kakek dari pihak ibunya, KH. Bisri Syansuri. Saat lahir beliau di beri nama, Abdurrahman Wahid Ad-dakhil, Ad-dakhil yang secara harfiah berarti (sang penakluk) diambil dari nama seorang pejuang Islam di zaman Bani Umaiyah yang berhasil membawa Islam ke Andalusia (Spanyol) dan mendirikan peradaban di sana yang berlangsung selama berabad-abad. Sebagaimana kebanyakan santri Jawa, atau kaum muslim ortodoks (yang merupakan mayoritas pemeluk Islam di Indonesia, yang dalam praktik keislaman mereka biasanya dinamakan kaum abangan), mereka biasanya memberikan nama ayah dibelakang nama anak mereka sebagaimana KH. Abdurrahman Wahid, nama Wahid diambil dari nama Ayah beliau KH. Wahid Hasyim. KH. Abdurrahman Wahid merupakan tokoh fenomenal dengan gayanya yang unik dan khas, riwayat perjalanan hidup anak pertama dari enam bersaudara pasangan KH. Wahid Hasyim dan Ny. Hj. Sholechah ini ibarat lembaran buku yang tidak habis dibaca, dalam perjalanannya dikemudian hari beliau lebih akrab disapa Gus Dur: Gus merupakan nama kehormatan yang diberikan kepada putra Kiai yang berarti mas atau abang. Gus Dur lahir dari keluarga terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur, dalam komunitasnya Gus Dur dipandang sebagai “Prince” karena beliau merupakan cucu dari Hadratus-Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang juga dikenal sebagai salah seorang tokoh yang mendirikan organisasi Islam terbesar di dunia yakni Nahdatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Beliau sangat dihormati sebagai pemimpin Islam dalam masyarakat pedesaan tradisional. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai seorang guru yang banyak memberi inspirasi sekaligus sebagai seorang yang terpelajar. Akan tetapi, beliau juga seorang yang nasionalis yang teguh dalam berpendirian. Banyak dari teman-temannya merupakan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis pada periode sebelum perang. Dan terlebih lagi ayahanda Gus Dur, KH. Wahid Hasyim, yang menjadi menteri agama pertama pada era pemerintahan Presiden Soekarno, beliau juga dihormati oleh masyarakat menengah kota, karena kedekatannya dengan gerakan nasionalis yang memimpin perjuangan revolusioner melawan penjajah Belanda setelah akhir Perang Dunia II. Oleh karena itu, kedua tokoh ini secara resmi dikenang sebagai Pahlawan Nasional. Nama mereka, sebagaimana juga nama pahlawan-pahlawan nasional lainnya diabadikan sebagai nama-nama jalan di Jakarta Pusat.
Selain KH. Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur dari pihak ibunya, yakni KH. Bisri Syansuri juga merupakan salah seorang ulama yang kharismatik. Bersama dengan KH. Hasyim Asy’ari, beliau dianggap sebagai salah seorang tokoh kunci bagi lahirnya organisaisi NU, selain itu beliau juga dikenal sebagai seorang ulama dan pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Sementara, ibunda Gus Dur, Ny. Hj. Sholechah adalah puteri dari pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang. Masa kanak-kanak Gus Dur banyak dihabiskan di lingkungan pondok pesantren milik keluarganya. Pada akhir tahun 1944, ketika Gus Dur baru berusia empat tahun, ia diajak oleh ayahnya ke Jakarta. Saat itu KH. Wahid Hasyim dipercaya oleh pihak Jepang untuk memimpin ‘Shumubu’ (Kantor Urusan Agama), atas rekomendasi dari KH. Hasyim Asy’ari, sebagai bentuk kompensasi atas penahanan beliau yang dinilai pihak Jepang sebagai suatu kecerobohan yang bisa mengancam eksitensinya di Indonesia, khususnya di daratan pulau Jawa. Pada saat itu, KH. Wahid Hasyim juga sudah menjadi seorang nasionalis terkemuka. Pada tahun 1939, ia terlibat dalam Majelis Islam A’la indonesia (MIAI) dan juga merintis perkembangan Hisbullah, yang merupakan sayap militer MIAI. Ketika mereka sampai di Jakarta Gus Dur dan Ayahnya tinggal di daerah Menteng, Jakarta Pusat, yang saat itu diminati oleh pengusaha terkemuka, para profesional, dan para politikus. Dengan berada di daerah Menteng, Kiai Wahid Hasyim dan putera tertuanya ini dapat berada di pusat kegiatan. Misalnya ketika mereka melaksanakan ibadah sholat di masjid Matraman yang letaknya tak begitu jauh, mereka secara teratur dapat bertemu dengan pemimpin-pemimpin nasionalis, seperti Mohammad Hatta. Menurut ingatan Gus Dur saat itu ia sering membukakan pintu sekitar pukul delapan malam. Seorang laki-laki asing yang berpakaian petani warna hitam datang berkunjung untuk menemui ayahnya. Keduanya kemudian sering bercakap-cakap selama berjam-jam. Atas permintaan tamu asing itu, Gus Dur memanggilnya Paman Husein. Baru beberapa tahun kemudian ia tahu bahwa orang itu adalah Tan Malaka, Seorang pemimpin komunis yang terkenal. Walaupun Kiai Wahid Hasyim secara efektif memimpin organisasi Islam terbesar di negeri ini, namun ia juga menjalin hubungan baik dengan komponen-komponen masyarakat lainnya, termasuk Tan Malaka dan orang-Orang komunis lainnya. Pada bulan Oktober tahun 1943, Jepang membubarkan MIAI dan menggantinya dengan suatu badan payung yang mereka namakan Masyumi, dan pada akhirnya Kiai Wahid Hasyim yang diminta untuk menjadi pemimpinnya atas rekomendasi dari KH. Hasyim Asy’ari, ketika bergerak di organisasi Masyumi inilah Kiai Wahid Hasyim dapat bertemu secara intens dengan Soekarno, Hatta, dan pemimpin-pemimpin nasionalis terkemuka lainnya. Beliau juga terlibat dalam perumusan Undang-Undang dasar 1945, serta terlibat dalam pengembangan falsafah negara Indonesia, yakni Pancasila. Salah seorang teman baik Kiai Wahid Hasyim adalah seorang Jerman yang telah masuk Islam dan dipanggil dengan nama Williem Iskandar Bueller. Sering kali Kiai Wahid Hasyim mengirim Gus Dur, selepas sekolah, ke rumah Bueller sepanjang sore hari. Di sinilah Gus Dur mulai mencintai musik klasik, khususnya karya-karya Bethooven sejak hari pertama ia mendengarnya lewat gramofon Bueller. Ketika Mereka tinggal di Menteng ini, kemanapun ayahnya pergi Gus Dur selalu diajak, sehingga Gus Dur sejak kecil sudah diperkenalkan dengan kehidupan yang berbeda dengan lingkungan pesantren di mana ia dilahirkan dan diasuh oleh ibunya. Gus Dur kecil diperkenalkan dengan orang-orang yang mempunyai berbagai ideologi dan latar belakang yang berbeda dengan dirinya, baik yang dari kalanan pribumi maupun yang dari kalangan orang-orang Eropa. 2. Latar Belakang Pendidikan KH. Abdurrahman Wahid Gus Dur lahir dan tumbuh di dalam lingkungan pesantren yang dilingkupi dengan nilai-nilai etika, dan sarat akan suasana yang religius (keagamaan), pada masa kanak-kanak beliau sudah tumbuh menjadi anak yang pandai, hal tersebut bisa dilihat dari kemampuannya dalam mempelajari bacaan Al-Qur’an dan bahasa Arab meskipun masih terbata-bata. Sejak kecil beliau sudah diajarkan oleh ibunya dan sekaligus dibimbing oleh kedua kakeknya untuk mempelajari nilai-nilai agama. Pada saat beliau berumur sekitar empat tahun, beliau diajak oleh ayahnya untuk tinggal di Jakarta. Sebagai anak seorang menteri, sudah selayaknya Gus Dur mendapatkan kompensasi untuk mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah yang elit yang biasanya dimasuki oleh anak-anak para pejabat pemerintah. Ayahanda beliau pernah menawari Gus Dur untuk masuk pada sekolahan elit tersebut, namun yang terjadi adalah Gus Dur menolak hal tersebut dan lebih memilih untuk masuk pada sekolahan yang tergolong biasa. Menurutnya, sekolah-sekolah elit membuatnya tidak betah. Gus Dur memulai pendidikan dasarnya di sekolah dasar KRIS di Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga dan kemudian di kelas empat. Akan tetapi ia kemudian pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, yang terletak di dekat rumah keluarga mereka yang baru di Matraman, Jakarta Pusat. Pada tahap ini, pendidikan Gus Dur sepenuhnya bersifat sekular. Namun, tentu saja ia telah mempelajari bahasa Arab ketika kecil dan mempunyai cukup pengetahuan untuk dapat membaca Al-Qur’an dengan suara keras. Akan tetapi, baru setelah beranjak remaja, ia mulai belajar bahasa Arab secara sistematik. Ia dan saudara-saudaranya yang lain selalu dianjurkan oleh ayahnya untuk membaca apa saja yang mereka sukai dan kemudian secara terbuka membicarakan ide-ide yang mereka temukan. Hal ini terdorong oleh Kiai Wahid Hasyim yang selalu merasa frustasi melihat sempitnya cakrawala pikiran banyak santri dan oleh karena itu ia berusaha agar anak-anaknya tumbuh besar dengan cakrawala pikiran yang luas. Selama bertahun-tahun tinggal di Jakarta ini, Gus Dur sering berada bersama ayahnya dan sering menemaninya pergi ke pertemuan-pertemuan. Dengan demikian, ia dapat menyaksikan dunia ayahnya yang penuh dengan berbagai macam orang dan peristiwa. Pada tanggal 18 April 1953, saat itu Gus Dur berusia sekitar dua belas tahun, Ayahanda beliau Kiai Wahid Hasyim dipanggil oleh Sang Khalik, dalam sebuah kecelakaan yang terjadi di wilayah antara Cimahi dan Bandung. Ketika kecelakaan terjadi, Kiai Wahid Hasyim bersama putera tertuanya tersebut hendak menghadiri sebuah acara NU di Sumedang, sebelah Tenggara Jakarta. Pada tahun 1954, setahun setelah ia menamatkan Sekolah Dasar dan memulai Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), ia terpaksa mengulang kelas satu karena gagal dalam ujian, banyak orang yang menilai bahwa kegagalannya ini disebabkan oleh faktor meninggal ayahnya yang berdampak terhadap pola belajar Gus Dur, namun yang terjadi malah sebaliknya, Gus Dur menyangkal hal tersebut dengan menyatakan bahwa faktor kegagalannya tersebut lebih disebabkan oleh pelajaran-pelajaran yang ia terima disekolah tidak cukup menantang, sehingga ia lebih tertarik untuk menonton pertandingan sepak bola dan menonton film. Pada tahun yang sama, ketika sang ibu berjuang sendirian untuk membesarkan anaknya, sementara Gus Dur sendiri kurang berhasil dalam pelajaran sekolahnya, ia dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di SMP. Di kota ini, ia berdiam di rumah salah seorang teman ayahnya, Kiai Junaidi. Yang menarik adalah bahwa pada periode ini Kiai Junaidi adalah salah seorang dari sejumlah kecil ulama yang terlibat dalam gerakan Muhammadiyah. Ia adalah anggota Majelis Tarjih atau Dewan Penasihat Agama Muhammadiyah. Rumah Kiai Junaidi terletak di Kauman, tempat para santri muslim modernis berdiam di Yogyakarta, dekat dengan Istana Kesultanan, tempat kelahiran Muhammadiyah. Untuk melengkapi pendidikan Gus Dur, maka diaturlah agar ia dapat pergi ke Pesantren Al-Munawwir di Krapyak tiga kali seminggu. Pesantren ini terletak sedikit di luar kota Yogyakarta. Di sini, ia belajar bahasa Arab kepada KH, Ali Ma’shum, beliau dikenal sebagai Kiai yang egaliter. Selama tinggal di Jakarta, kemampuan bahasa Arab Gus Dur masih pasif. Ia memang sudah menguasai bahasa Inggris dengan baik dan dapat membaca tulisan dalam bahasa Prancis dan Belanda. Namun ketika di Yogyakarta inilah kemampuan Gus Dur dalam berbahasa Arab melesat jauh. Ia melahap banyak buku. Menjelang pertengahan tahun 1950an, Yogyakarta telah mendapatkan ciri khasnya sebagai kota pelajar. Oleh karena itu, bagi Gus Dur, yang sangat mencintai buku, toko-toko yang menjual buku-buku bekas dikota ini sangat membawa berkah bagi perkembangannya. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur mulai mengikuti pelajaran di pesantren secara penuh. Ia bergabung dengan Pesantren Tegalrejo di Magelang, yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta. Ia tinggal dipesantren ini hinga pertengahan tahun 1959. Di sini, ia belajar pada Kiai Khudori, yang merupakan salah satu dari pemuka NU. Pada saat yang sama, ia juga belajar paro waktu di Pesantren Denanyar, Jombang, di bawah bimbingan kakeknya dari pihak ibu, Kiai Bisri Syansuri. Gus Dur membuktikan dirinya sebagai siswa yang berbakat denngan menyelesaikan pelajarannya di Tegalrejo di bawah asuhan Kiai Khudori ini selama dua tahun. Kebanyakan siswa lain memerlukan waktu empat tahun untuk menyelesaikan pelajaran. Bahkan di Tegalejo ini Gus Dur banyak menghabiskan sebagian besar waktunya di luar kelas dengan membaca buku-buku barat. Pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Jombang untuk belajar secara penuh di Pesantren Tambakberas di bawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah. Ia belajar di sini hingga tahun 1963 dan selama kurun waktu itu, ia selalu berhubungan dengan Kiai Bisri Syansuri. Selama tahun pertamanya di Tambakberas, Gus Dur mendapat dorongan untuk mulai mengajar. Ia kemudian mengajar di madrasah modern yang didirikan di kompleks pesantren dan juga menjadi kepala sekolahnya. Selama masa ini, ia tetap berkunjung ke Krapyak secara teratur. Di kota ini, ia tinggal di rumah Kiai Ali Ma’shum. Pada masa inilah, sejak akhir tahun 1950-an hingga 1963, Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik. Di kalangan pesantren, ia dianggap sebagai siswa yang cemerlang. Studinya ini, yang banyak tergantung pada kekuatan ingatan, hampir-hampir tidak memberikan tantangan kepada Gus Dur yang mempunyai ingatan yang amat kuat walaupun ia dikenal sebagai seorang yang malas dan kurang disiplin dalam studi formalnya. Gus Dur muda sangat mengapresiasi nilai-nilai budaya, hal ini tergambar saat beliau hidup di Yogyakarta. Gus Dur sangat tertarik dengan pertujukan wayang kulit, yang merupakan pertunjukan wayang tradisional. Ketika berdiam di Yogyakarta dan Magelang, ia selalu mencari-cari pertunjukan wayang kulit, hal ini biasa dilakukannya setiap dua sampai tiga minggu sekali. Selain menyukai wayang kulit Gus Dur juga menyukai sastra picisan. Baginya, bacaan ini sering mengandung unsur penting dalam hidupnya. Ia sangat menyenangi cerita silat, serta cerita-cerita mengenai Perang Dunia II. Ia gemar sekali membaca biografi presiden-presiden Amerika dan terpesona mengenai perjuangan mereka untuk mencapai kedewasaan. Salah seorang Presiden Amerika yang disukainya dari dulu hingga kini tetaplah Franklin D. Roosevelt. Gus Dur menyukai Roosevelt karena visi sosial dan dorongan hidupnya. Akan tetapi, ia juga selalu menaruh hormat kepada Harry Truman yang sederhana. Ketika Gus Dur pindah dari Yogyakarta ke Magelang dan kemudian ke Jombang, ia mulai serius memasuki dua macam dunia bacaan; pikiran sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Prancis, dan Rusia. Ketika berdiam di Magelang, ia mulai membaca tilisan-tulisan ahli teori sosial terkemuka dari Eropa, sebagai seorang remaja ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles, dua orang pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenenai Islam zaman pertengahan. Pada saat yang sama ia bergulat memahami Das Kapital karya marx dan What is To Be Done karya Lenin, kedua buku yang mudah diperoleh di negeri ini ketika Partai Komunis Indonesia membuat kemajuan besar. Ia juga banyak tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile Communism dan dalam Little Red Book – Mao. Akan tetapi, bagi Gus Dur, topik yang sangat menarik perhatiannya bukanlah politik atau filsafat yang dipelajari sebagai sesuatu yang abstrak, namun bagaimana agar ia mempunyai sifat manusiawi. Pada waktu itu dan kemudian sepanjang hidupnya, ia sangat suka memahami kepelikan sifat manusia. Sebagaimana yang ia pelajari dalam wayang kulit, yang berisi kisah-kisahmengenai bagaimana menghargai ambivalensi, maka dalam satra-satra besar Eropa ia juga belajar menghargai kepelikan dan bermacam lapis kelabu yang membentuk sifat manusia. Cintanya akan kemanusiaan ini, yang dibinanya lewat satra klasik, dilengkapi dengan kegemarannya menonton film. Demikianlah rasa cinta Gus Dur yang besar akan satra dan ilmu pendidikan pada umumnya. Dengan bermodalkan ingatan yang kuat, Gus Dur terus membaca satra secara intens selama bertahun-tahun di pesantren. Dengan mudah ia membaca buku dalam jumlah yang besar, beberapa di antaranya ia baca hanya dalam semalam tanpa banyak mengganggu studi formalnya. Mengingat rasa hausnya yang besar akan ide-ide baru dan rasa ingin tahunya yang luas, tidaklah mengejutkan apabila pada satu titik dalam perkembangan dirinya Gus Dur terpaksa harus bergulat menemukan identitas agamanya sendiri dan tempatnya di dunia. Pada awal usia 20-an, ia mencoba iseng-iseng untuk bergaul dengan fundamentalisme Islam. Dari apa yag dibacanya ia tahu bahwa masalah-masalah yang dihadapi umat manusia memerlukan tanggapan yang luas. Ia menemukan banyak ide menarik dalam pikiran-pikiran kaum marxis tetapi ia juga terganggu oleh antagonisme marxisme dengan agama. Walaupun ia khawatir akan analisis sosial yang menyederhanakan masalah dan tidah didasarkan pada informasi yang lengkap, yang pada tahun 1960-an mendapatkan popularitas di antara kaum muslim yan aktif dalam politik di Indonesia, Gus Dur tetap berharap bahwa dalam Islam ia dapat memperoleh jawaban bagi masalah-masalah ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan. Pada saat itu beliau banyak melahap karya-karya intelektual Islam. Misalnya, karya Sayyid Qutb, Said Ramadan, Hasan al-Bana, dan dijelajahinya ide-ide di balik organisasi Islam terkemuka di dunia Arab, yakni Ikhwanul Muslimin. Pada awal tahun 1962, adik laki-laki ibunya, Aziz Bisri, yang merupakan salah seorang pengagum Ikhwanul Muslimin di Indonesia, menawarkan padanya untuk bergabung, Ia mempertimbangkan usulan itu, namun usahanya untuk terjun langsung ke dalam pemikiran fundamentalisme segera terputus oleh kepindahannya ke Kairo pada bulan November 1963 untuk melanjutkan studinya. Pada saat itu, ia mulai bosan dengan gelar-gelar keislaman, yang diangapnya hanya sebagai pengulangan belaka yang dangkal arti. Ia pun mulai menolak segala ungkapan keislaman atau fundamentalisme oleh karena ia mengangap hal ini bertentangan dengan semangat Islam yang asli. Penolakannya ini terjadi setelah ia pertama-tama mencoba ide-ide tersebut ketika berada di Jombang dan kemudian di Kairo dan pada akhirnya menentukan posisinya terhadap ide-ide tersebut. Pada akhir tahun 1963, Gus Dur mendapat beasiswa untuk melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar Kairo (Mesir). Saat memulai studi formalnya di Universitas ini, hanya kecewa yang ia dapatkan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan universitas yang menempatkannya pada kelas pemula, yakni sebuah kelas khusus untuk memperbaiki bahasa Arab. Ia di tempatkan bersama sebagian mahasiswa yang baru datang dari Afrika dan hampir tidak tahu sma sekali abjad Arab, apalagi menggunakan bahasa itu dalam percakapan, sedangkan hal itu sudah dipelajari Gus Dur selama ia menetap di Jombang. Hal ini yang memicu Gus Dur untuk lebih memilih sering tidak masuk kelas pemula tersebut. Sebaliknya, ia malah menyalurkan hobinya mengikuti pertandingan sepak bola yang banyak terdapat di Kairo., membaca di perpustakaan-perpustakaan yang besar., menonton film-film Prancis, dan ikut serta dalam diskusi-diskusi di kedai-kedai kopi yang sangat menarik. Setelah kurang lebih dua setengah tahun pasca tinggal di Kairo, Gus Dur akhirnya memutuskan untuk pindah ke kota Baghdad (Iraq) setelah mendapat tawaran beasiswa keduanya, kabar beasiswa ke Baghdad ini membangkitkan gairah belajar Gus Dur yang sempat kendur akibat kekecewaannya selama menuntut ilmu di Al-Azhar. Dengan belajar di Baghdad Gus Dur berharap dapat mengulang segala impiannya dari awal. Walaupun merasa kecewa dengan studi formalnya di Kairo, Gus Dur merasa mendapatkan manfaat lain dibalik hal tersebut, baik dari segi lingkungan sosial maupun intelektual di sana. Selama kuliah di Universitas Baghdad, Gus Dur membagi waktu dengan bekerja di kantor Ar-Ramdani (sebuah perusahan kecil yang bergerak di bidang import tekstil dari Eropa dan Amerika). Selain bekerja di kantor tersebut Gus Dur mengisi aktifitas di luar kuliahnya dengan bergabung di organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan terakhir menjabat sebagai ketua di organisasi tersebut. Selama beberapa tahun tinggal di Baghdad, pada pertengahan tahun 1968, Gus Dur akhirnya memutuskan untuk menikahi Nuriyah, salah seorang gadis paling menarik yang dikenalnya di Pondok Pesantren Tambakberas. Saat itu Gus Dur masih mengajar di Madrasah di lingkungan pesantren tersebut, dan Gus Dur merupakan guru dari Nuriyah. Gus Dur menyukai gadis ini karena tertarik akan kecerdasan serta cara berpikirnya yang bebas. Gus Dur dan Nuriyah menikah setelah mereka bertunangan selama kurang lebih dua tahun lamanya. Tahun 1970, Gus Dur menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad. Ia ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya Di Unniversitas Leiden. Tetapi, ia harus menelan kekecewaan karena pendidikannya di universitas Baghdad rupanya kurang diakui oleh Universitas Leiden. Dari Belanda, Gus Dur kemudian pergi ke Jerman dan Prancis sebelum akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 1971. Setelah kembali ke Jakarta pada tahun 1971, Gus Dur berharap suatu saat ia akan pergi lagi ke luar negeri untuk belajar di Universitas McGill, Kanada. Sembari itu, ia bergabung dengan Lembaga penelitian, Pendidikan, penerangan ekonomi dan Sosial (LP3ES), yakni sebuah organisasi yang terdiri dari kaum intelektual Muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut ‘Prisma’ dan Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Sayap Gus Dur sebagai intelektual dan cendekiawan muslim semakin berkembang ketika ia menjadi penulis di majalah ‘Tempo’ dan harian ‘Kompas’. Artikel yang ditulisnya diterima dengan baik oleh banyak kalangan. Tulisannya tidak hanya terpaku pada satu issu semata, ia banyak mengangkat masalah-masalah terkait agama, sosial, politik, olahraga, seni budaya, dan lain-lain. Pada tahun 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan dengan kembali menjadi tenaga pengajar di Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang. Ia mengajarkan kitab Al-Hikam setahun berikutnya. Pada tahun 1977, Gus Dur bergabung ke Universitas Hasyim Asy’ari Jombang (UNHASY sekarang berganti nama menjadi IKAHA) dan menjabat sebagai Dekan pada Fakultas Ushuluddin. Selain menjadi seorang dosen, Gus Dur juga sering mengisi seminar-seminar di jeda aktifitasnya yang padat. Pada tahun 1979 atau tepatnya setelah muktamar NU di Semarang, Gus Dur mulai terlibat intens pada organisasi yang didirikan oleh kakeknya tersebut. Setelah dua kali ia menolak untuk bergabung dengan Dewan Penasihat Agama NU, akhirnya pada tahun 1981 Gus Dur menerima permintaan kakeknya Kiai Bisri Syansuri untuk bergabung dengan NU, ia menjabat sebagai Khatib Awal atau Sekertaris I. Sebagai pengurus NU, Gus Dur mendapat pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum 1982. Saat itu ia ikut aktif bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil fusi 4 Partai Islam, termasuk NU. Saat itu PPP juga ikut ambil bagian menjadi salah satu kontestan dalam gelaran acara lima tahunan yang akhirnya ‘mengaklamasi’ Presiden Suharto kembali menjadi Presiden Republik Indonesia untuk keempat kalinya tersebut. Sepak terjang Gus Dur dengan gagasan-gagasannya yang brilian di NU, membuatnya dengan cepat menempatkannya pada posisi yang strategis. Berdasarkan keinginan banyak anggotanya, pada tahun 1984 akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum Dewan Tanfidz PBNU dalam muktamar ke-27 NU di Situbondo, dan dipercaya lagi menjadi Ketua PBNU untuk muktamar ke-28 di Tasikmalaya, dan berikutnya saat multamar ke-29 di Yogyakarta. Hal ini menunjukan bahwa ia merupakan seorang Kiai yang tidak hanya cerdas, namun ia juga progresif dan karismatik. Pada tahun 1990, ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang di bentuk atas gagasan Suharto sebagai suatu langkah mempertahankan eksistensinya dalam pemerintahan. Dalam organisasi ini bergabung pula beberapa cendekiawan muslim diantaranya Amien Rais dan Nurcholis Madjid. Pada tahun 1991 ICMI Menawari Gus Dur untuk bergabung dalam organisasi tersebut, namun Gus Dur menolaknya dengan alasan organisasi tersebut adalah bentukan penguasa yang bersifat sektarian. Setelah penolakan tersebut Gus Dur mengambil langkah membentuk Forum Demokrasi (Fordem), yakni, sebuah organisasi yang terdiri dari 45 orang intelektual dengan bebagai latar belakang berbeda, baik dari kalangan sosial, pendidikan, dan agama. Gus Dur membuktikan dirinya sebagai seorang pancasilais dan egaliter, ia tidak pandang bulu dalam bergaul, ia dekat dengan berbagai kalangan dari komunitas non muslim, selalu berjuang atas nama rakyat, dan ia juga selalu konsisten dalam perjuangan penegakan demokrasi dan toleransi. Hal tersebut membuatnya meraih kepercayaan sebagai Presiden WCRP (World Council for Religiuon and Peace), Gus Dur juga mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang HAM, selain itu ia juga menjabat sebagai penasihat Internasional Dialogue Foundation on Perpective Studies of Syariah and Seculer Law di Den Haag, Belanda. Tidak ketinggalan pada tangal 31-Agustus 1993 sebuah majalah “Nobel Asia” Philipina memberikan penghargaan Ramon Magsasay kepada Gus Dur sebuah penghargaan prestisius untuk kategori Community Leadership. Keith Loveard dan Dirk Vlasblon yang merupakan koresonden majalah Asiaweek di Jakarta memasukkan Gus dur sebagai tokoh terkuat di Asia pada urutan ke-24 (1996), dan 20 pada tahun (1997), penghargaan lain ia terima dari Organisasi Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles atas kegigihannya dalam membela kaum minoritas dan yang paling mutakhir adalah pada tahun 2010, sesaat setelah ia wafat First freedom Centre memberikan award atas pemikiran dan sikapnya yang inklusive. Dalam medio tahun 90-an, geliat Gus Dur sebagai salah seorang pejuang demokrasi semakin terlihat, hal ini terbukti dari sikapnya yang mengkritisi secara terang-terangan dominasi negara dan kekuasaan pemerintahan yang represif. Bersama beberapa tokoh reformasi lainnya, yakni Amien Rais, Megawati, dan Hamengku Buwono X, serta kekuatan elemen masyarakat yang bertumpu pada kaum akademisi mahasiswa, mereka mewujudkan komitmennya dalam menegakkan demokrasi, yang berujung pada pemakzulan Soeharto pada 1998, dari tampuk pemimpin pemerintahan yang berkuasa selama 32 tahun lamanya. Reformasi 1998, telah mengubah peta kekuatan politik Indonesia berskala nasional. Demokrasi tumbuh dan gairah berpolitik meledak-ledak. Salah satu wujudnya adalah lahirnya lahirnya partai-partai politik baru yang membias dari tiga partai peserta pemilu sebelumnya, yakni PPP, PDI, dan Golkar dari kubu Incumbent. Beberapa partai yang muncul pasca runtuhnya rezim orde baru banyak yang bernafaskan Islam, salah satu diantaranya adalah PKB yang digagas oleh Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Ketua Tanfidziah PBNU atas desakan banyak kalangan Nahdliyin (NU). Sebuah strategi politik yang benar-benar matang yang kemudian menghantarkan Gus Dur ke tampuk kursi Presiden RI pada tahun berikutnya yakni pada Pemilu tahun 1999. Pada hajatan lima tahunan tersebut Gus Dur berhasil mengeliminasi Megawati Soekarno Putri dari partai PDI perjuangan. Sebuah kemenangan yang luar biasa, karena saat itu koalisi poros tengah yang dimotori Amien Rais, merupakan koalisi dari partai-partai Islam. Karya-karya Intelektual Gus Dur Sebagai intelektual dan cendekiawan, semasa hidupnya sarjana Sastra Arab lulusan Universitas Baghdad ini menunjukan semangatnya yang tinggi dalam menulis, banyak esai-esainya yang di muat oleh berbagai media cetak dan elektronik. Dalam berbagai artikelnya selalu di temukan semangat pembebasan dan pencerahan kepada masyarakat dengan cara membuka ruang lain sebagai alternatif untuk melihat. Melalui kurang-lebih 500 artikelnya, Gus Dur secara makro selalu mengusung tema yang konsisten, yakni: 1. Mengembangkan khasanah lokalitas Islam klasik Indonesia. 2. Humanisme sebagai perlawanan terhadap kekerasan. 3. Ide perlawanan kultural. 4. Ide integralisme 5. Analisis ilmiah atas realitas dunia Islam. Dari berbagai tema diatas banyak dari tulisannya yang telah dimuat diantaranya; Tabayyun Gus Dur : Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, dan Reformasi Kultural (LKiS, 1998) Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (LKiS,1997) Islam, Negara dan Demokrasi; Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur (Erlangga,1999) Prisma Pemikiran Gus Dur (LKiS, 1999) Tuhan Tidak Perlu Dibela (LKiS, 1999) Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, 1999) Membangun Demokrasi (Rosdakarya, 1999) Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo,1999) Melawan Melalui Lelucon (Tempo, 2000) Bunga Rampai Pesantren (Darma Bahkti, 1979) Muslim di Tengah Pergumulan (Leppenas, 1981) Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara, 2001) Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi (The Wahid Institute, 2006)

1 komentar:

  1. Tahun 2008 mendapat medali kehormatan Medal Of Valor dari Simon Wiesenthal Center penghargaan diberikan di sebuah hotel di Los Angeles. Gak ada organisasi Mebal Valor berkantor di Los Angeles. Gak tahu atau sengaja? Pembaca bisa googling untuk tahu apa itu Simon Wiesenthal Center, siapa saja yang mendapat medal of valor. Medal of Valor diberikan kepada orang yang paling gigih, paling berani membela "minoritas". Cari tahu juga minoritas mana yang dimaksud. Terkadang Kebenaran begitu menyakitkan.

    BalasHapus