Jumat, 11 Mei 2012

AHLUSSNUNAH WAL JAMAAH

Ahlussunnah Wal-Jama'ah Secara kebahasaan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata. Pertama, kata Ahl, yang berarti keluarga, pengikut atau golongan. Kedua, kata al-sunnah. Secara etimologis (lughawi) kata al-sunnah memiliki arti al-thariqah (jalan dan prilaku), baik jalan dan prilaku tersebut benar atau keliru. Sedangkan secara terminologis, al-sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi J dan para sahabatnya yang selamat dari keserupaan (syubhat) dan hawa nafsu. Dalam konteks ini, Hadhratusysyaikh Kiai Hasyim Asy'ari mengataka,
اَلسُّنَّةُ كَمَا قَالَ اَبُو الْبَقَاءِ فِيْ كُلِّيَّاتِهِ: لُغَةً الطَّرِيْقَةُ وَلَوْ غَيْرَ مَرْضِيَّةً، وَشَرْعًا اِسْمٌ لِلطَّرِيْقَةِ الْمَرْضِيَّةِ الْمَسْلُوْكَةِ فِي الدِّيْنِ سَلَكَهَا رَسُوْلُ اللهِ J اَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ هُوَ عَلَمٌ فِي الدِّيْنِ كَالصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، لِقَوْلِهِ J، عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ. (الشيخ محمد هاشم اشعري، رسالة اهل السنة والجماعة، ص/5). Sunnah seperti dikatakan oleh Abu al-Baqa' dalam kitab al-Kulliyyat, karangannya, secara kebahasaan adalah jalan, meskipun tidak diridai. Sedangkan al-sunnah menurut istilah syara' ialah nama bagi jalan dan prilaku yang diridai dalam agama yang ditempuh oleh Rasulullah J atau orang-orang yang dapat menjadi teladan dalam beragama seperti para sahabat –radhiyallahu 'anhum-, berdasarkan sabda Nabi J, "Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku." Ketiga kata al-jama'ah. Secara etimologis kata al-jama'ah ialah orang-orang yang memelihara kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai suatu tujuan, sebagai kebalikan dari kata al-firqah, yaitu orang-orang yang bercerai-berai dan memisahkan diri dari golongannya. Sedangkan secara terminologis, kata al-jama'ah ialah mayoritas kaum Muslimin (al-sawad al-a'zham), dengan artian bahwa Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah aliran yang diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abdullah al-Harari berikut ini, لِيُعْلَمْ أَنَّ أَهْلَ السُّنَّةِ هُمْ جُمْهُوْرُ اْلأُمَّةِ الْمُحَمَّدِيَّةِ وَهُمُ الصَّحَابَةُ وَمَنْ تَبِعَهُمْ فِي الْمُعْتَقَدِ اَيْ فِيْ اُصُوْلِ اْلاِعْتِقَادِ . . . وَالْجَمَاعَةُ هُمُ السَّوَادُ اْلاَعْظَمُ. (الشيخ عبد الله الهرري، إظهار العقيدة السنية بشرح العقيدة الطحاوية، ص/14-15). Hendaklah diketahui bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas umat Muhammad J. Mereka adalah para sahabat dan golongan yang mengikuti mereka dalam prinsip-prinsip akidah. . . Sedangkan al-jama'ah adalah mayoritas terbesar (al-sawad al-a'zham) kaum Muslimin Pengertian bahwa al-jama'ah adalah al-sawad al-a'zham (mayoritas kaum Muslimin) seiring dengan hadits Nabi J, عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَقُولُ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ J يَقُولُ: إِنَّ أُمَّتِيْ لاَ تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ اِخْتِلاَفًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ. رواه ابن ماجه (3950)، وعبد بن حميد في مسنده (1220)، والطبراني في مسند الشاميين (2069) وصححه الحافظ السيوطي في الجامع الصغير (1/88). Dari Anas bin Malik , berkata: "Aku mendengar Rasulullah J bersabda: "Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas." Dalam hadits lain, Rasulullah J juga bersabda: عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J:ثَلاَثٌ لاَ يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ الْمُؤْمِنِ: إِخْلاَصُ الْعَمَلِ، وَالنَّصِيْحَةُ لِوَلِيِّ اْلأَمْرِ، وَلُزُوْمُ الْجَمَاعَةِ، فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تَكُوْنُ مِنْ وَرَائِهِمْ. رواه الترمذي (2582) وأحمد (12871) والحاكم (1/88) وقال : صحيح على شرط الشيخين. Ibn Mas'ud berkata, Nabi J bersabda: "Tiga perkara yang dapat membersihkan hati seorang mukmin dari sifat dendam dan kejelekan, yaitu tulus dalam beramal, berbuat baik kepada penguasa, dan selalu mengikuti kebanyakan kaum Muslimin, karena doa mereka akan selalu mengikutinya." Hadits ini memberikan pengertian bahwa orang yang selalu mengikuti mainstream mayoritas kaum Muslimin dalam hal akidah dan amal shaleh, maka barokah doa mereka akan selalu mengikuti dan melindunginya dari sifat dengki dan kesesatan dalam beragama. Sedangkan orang yang keluar dari mainstream mayoritas kaum Muslimin, maka dia tidak akan memperoleh barokah doa mereka, sehingga tidak akan terjaga dari sifat dengki dan kesesatan dalam beragama. Ciri Khas Akidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah Apabila anda ditanya, apakah ciri khas akidah Ahlussunnah Wal-Jama'ah? Maka jawabnya adalah, Ahlussunnah Wal-Jama'ah meyakini bahwa Allah itu ada tanpa arah dan tanpa tempat. Hal ini di antara yang membedakan Ahlussunnah Wal-Jama'ah dengan aliran-aliran yang lain. Terdapat sekian banyak dalil, baik dari al-Qur'an, hadits dan dalil-dalil 'aqli yang menunjukkan bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat. Allah SWT berfirman: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (11) Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. (QS. al-Syura : 11). Ayat ini adalah ayat yang paling tegas dalam menjelaskan kesucian Allah secara mutlak dari menyerupai apapun. Allah SWT tidak menyerupai makhluk-Nya dari aspek apapun, sehingga Allah itu tidak butuh pada tempat yang menjadi tempat-Nya dan tidak butuh pada arah yang menentukan-Nya. Keberadaan Allah SWT tanpa tempat dan tanpa arah, seperti yang dikatakan oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu: كَانَ اللهُ وَ لاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآنَ عَلىَ مَا عَلَيْهِ كَانَ. Allah SWT itu ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang seperti keberadaan-Nya sebelum adanya tempat. Ayat di atas juga menjadi dalil bagi Ahlussunnah Wal-Jamaah bahwa Allah memiliki sifat mukhalafatuhu lil-hawaditsi, yaitu Allah tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya. Sifat ini termasuk sifat salbiyyah, yaitu sifat yang menafikan sifat-sifat yang tidak layak bagi Allah. Oleh karena itu, mustahil Allah SWT menyerupai makhluk yang mempunyai roh seperti manusia, jin, Malaikat dan lain-lain. Allah juga mustahil menyerupai benda-benda padat (jamad), baik benda yang ada di atas, maupun yang ada di bawah. Ulama Ahlussunnah Wal-Jama'ah menjelaskan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi atas dua bagian, yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil yang dinamakan dengan al-jauhar al-fard, dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian yang dinamakan dengan jism. Benda yang terakhir ini juga terbagi menjadi dua macam. Pertama, benda lathif, yaitu sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya, kegelapan, roh, angin dan sebagainya. Dan kedua, benda katsif, yaitu sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya. Benda juga mempunyai sifat yang melekat kepada dirinya seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menegaskan kepada kita bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, sehingga sudah barang tentu Allah itu bukan al-jauhar al-fard, bukan benda lathif dan bukan pula benda katsif. Dan tentu saja Allah tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda. Ayat tersebut di atas cukup sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, tentu akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian Allah mempunyai dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang mempunyai dimensi, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut. Mungkin di sini ada yang bertanya, apakah akal dapat menerima terhadap keberadaan sesuatu tanpa arah dan tanpa tempat? Jawaban dari pertanyaan ini adalah dalil berikut ini yang juga menunjukkan bahwa Allah itu ada tanpa arah dan tanpa tempat, yaitu hadits shahih: عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ J: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. (رواه البخاري 2953). Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhuma berkata, "Rasulullah J bersabda, "Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya." (HR. al-Bukhari : 2953). Hadits di atas memberikan penjelasan, bahwa Allah itu ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), ketika tidak ada sesuatu apapun bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, Arsy, langit, manusia, jin, Malaikat, waktu, tempat dan arah. Dengan demikian berarti Allah itu ada sebelum terciptanya tempat dan arah. Allah juga tidak berubah dari wujud yang semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk). Sekarang apabila akal dapat menerima bahwa Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka tentu saja akal dapat menerimaa wujud-Nya Allah tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Dan hal ini bukan termasuk penafian atas wujudnya Allah. Al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi mengatakan: Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah, mengambil dalil dari hadits: عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ J قَالَ: أنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ. (رواه مسلم 4888). Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi J, yang bersabda, "Engkaulah al-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu. Dan Engkaulah al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan), tidak ada sesuatu di bawah-Mu." (HR. Muslim 4888). Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya, sudah barang tentu Dia tidak bertempat. Oleh karena Allah itu ada tanpa tempat dan arah, Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata: إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْعَرْشَ إِظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ. Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya. Keyakinan bahwa wujudnya Allah tanpa tempat dan arah, adalah kesepakatan Ahlussunnah Wal-Jama'ah sejak generasi salaf yang saleh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh seorang ulama salaf, yaitu al-Imam Abu Ja'far al-Thahawi dalam al-'Aqidah al-Thahawiyyah: تَعَالَى (يَعْنِىْ اللهُ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالْغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ. Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, sehingga Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti tangan, wajah dan anggota badan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut. Ahlus Sunnah Wal Jama'ah أهل السنة والجماعة Pernyataan al-Imam al-Thahawi tersebut merupakan ijma' (konsensus) para sahabat dan ulama salaf yang saleh, karena al-Imam al-Thahawi menulis kitabnya, al-'Aqidah al-Thahawiyyah sebagai rangkuman dari akidah-akidah yang menjadi keyakinan seluruh sahabat dan ulama salaf yang saleh. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi juga mengatakan: وَأَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ. Ahlussunnah Wal-Jama'ah juga bersepakat, bahwa Allah itu tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh zaman. Oleh karena, Ahlussunnah Wal-Jama'ah sepakat meyakini bahwa Allah itu ada tanpa tempat dan arah, maka kelompok yang meyakini bahwa Allah ada di Arsy itu bukan Ahlussunnah Wal-Jama'ah, akan tetapi disebut kelompok Mujassimah dan Musyabbihah, seperti yang ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam Fath al-Bari: إِنَّ الْمُشَبِّهَهَ الْمُجَسِّمَةَ للهِ تَعَالىَ هُمُ الَّذِيْنَ وَصَفُوا اللهَ بِالْمَكَانِ وَاللهُ مُنَزَّهٌ عَنْهُ. Sesungguhnya kaum Musyabbihah dan Mujassimah adalah mereka yang mensifati Allah dengan tempat, padahal Allah Maha Suci dari tempat. Maraji’ : Sa'di Abu Jaib, al-Qamus al-Fiqhi Lughatan wa Ishthilahan, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 29. Ibn Rajab al-Hanbali, Kasyf al-Kurbah fi Washf Ahl al-Ghurbah, (Kairo: Maktabah al-Qayyimah, tanpa tahun), hlm. 19-20, (edisi tahqiq Muhammad Ahmad). KH. M. Hasyim Asy'ari, Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, (Jombang: Maktabah al-Turats, 1418 H), hlm. 5. Syaikh Abdullah al-Harari (1328-1429 H/1910-2008 M), Izhhar al-'Aqidah al-Sunniyyah bi-Syarh al-'Aqidah al-Thahawiyyah, (Beirut: Dar al-Masyari', 1997), hlm. 14-15. Al-Imam Ali al-Qari al-Harawi, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2001), hlm. 442, (edisi Jamal 'Aitabi). Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun, hlm. 256. Salim Alwan al-Hasani, Ghayat al-Bayan fi Tanzih Allah 'an al-Jihat wa al-Makan, Beirut: Dar al-Masyari', 1999, hlm. 15. Al-Hafizh Abu Bakr Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, al-Asma' wa al-Shifat, Beirut: Dar Ihya' al-Turats, hlm. 400. Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun, hlm. 256. Abdullah al-Harari, Izhhar al-'Aqidah al-Sunniyyah bi-Syarh al-'Aqidah al-Thahawiyyah, Beirut: Dar al-Masyari', 1997, hlm. 163 dan 343. Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun, hlm. 256

1 komentar:

  1. The king casino no deposit bonus, free spins, bitcoin - CommunityKhabar
    No deposit septcasino bonus, free spins, bitcoin. No casinosites.one deposits bonus. No withdrawals, bitcoin no deposit bonuses, free spins, 출장샵 bitcoin, communitykhabar 10k https://septcasino.com/review/merit-casino/ followers.

    BalasHapus